Ia merasa kehadiran perempuan kerap dipandang sebelah mata dan tidak divalidasi ketika berada dalam satu tim dengan pria.
"Seolah kemenangan yang didapat tim semata-mata hanya hasil kerja keras para player pria. Sindiran seperti 'numpang menang' atau 'di-carry doang' juga sering didapat perempuan," kata Sherlintsu.
"Hal itu membuat perempuan merasa terdiskriminasi, meski pada kenyataannya mereka memiliki skill yang setara dengan pro player pria," lanjutnya.
Baca Juga: Game Lokal Eizper Chain Ikut Meriahkan IESF World Esports Championships 2022
Di sisi lain, Pendiri What's The Meta (WTM), Maria mengungkapkan jika lingkungan dan mindset jadi penghalang terbesar ketika perempuan masuk ke dunia esports.
Perempuan dihantui berbagai stigma di masyarakat yang menyebut mereka harus berada di dapur, memasak, hingga mengurus anak.
Diskusi tersebut diharapkan dapat membuka mata masyarakat bahwa perempuan juga berhak mendapat kesempatan yang sama di berbagai bidang, termasuk esports. (*)